Kamis, 29 November 2012

Utsman bin Affan


Usman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibunya adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. ia masukIslam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan As-Sabiqun al-Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam).Rasulullah Saw sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah Saw, ‘Abu Bakar masuk tapi engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar masuk engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?’ Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?”
Pada saat seruan hijrah pertama oleh Rasullullah Saw ke Habbasyiah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habasyiah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. Tak lama tinggal di Mekah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Madinah. Pada peristiwaHudaibiyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka'bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.
Pada saat Perang Dzatirriqa dan Perang Ghatfahan berkecamuk, dimana Rasullullah Saw memimpin perang, Utsman dipercaya menjabat walikota Madinah. Saat Perang Tabuk, Utsman mendermakan 950 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya perang tersebut. Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli mata air yang bernama Rumah dari seorang lelaki suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Mata air itu ia wakafkan untuk kepentingan rakyat umum.[2] Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.
Setelah wafatnya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, diadakanlah musyawarah untuk memilik khalifah selanjutnya. Ada enam orang kandidat khalifah yang diusulkan yaitu Ali bin Abi ThalibUtsman bin AffanAbdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas,Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Selanjutnya Abdul Rahman bin Auff, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah mengundurkan diri hingga hanya Utsman dan Ali yang tertinggal. Suara masyarakat pada saat itu cenderung memilih Utsman menjadi khalifah ketiga. Maka diangkatlah Utsman yang berumur 70 tahun menjadi khalifah ketiga dan yang tertua, serta yang pertama dipilih dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 24 H. Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur.
ia adalah khalifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). ia mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya; membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid; membangun pertanian, menaklukan Syiria, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, Rodhes, dan juga membentuk angkatan laut yang kuat. Jasanya yang paling besar adalah saat mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.
Selama masa jabatannya, Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikaannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Namun hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah
Khalifah Utsman kemudian dikepung oleh pemberontak selama 40 hari dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ulimatum oleh pemberontak (Ghafiki dan Sudan), yaitu mengundurkan diri atau dibunuh. Meski Utsman mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan pemberontak, namun ia berprinsip untuk tidak menumpahkan darah umat Islam. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid pada bulan Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Quran. Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah Saw perihal kematian Utsman yang syahid nantinya. peristiwa pembunuhan usman berawal dari pengepungan rumah usman oleh para pemberontak selama 40 hari.usman wafat pada hari Jumat 18Dzulhijjah 35 H.[3] Ia dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.
Selanjutnya... Utsman bin Affan

Hamzah bin Abdul-Muththalib


Hamzah lahir diperkirakan hampir bersamaan dengan Muhammad. Ia merupakan anak dari Abdul-Muththalib dan Haulah binti Wuhaibdari Bani Zuhrah. Menurut riwayat, pernikahan Abdul-Muththalib dan Abdullah bin Abdul-Muththalib terjadi bersamaan waktunya, dan ibu dari Nabi, Aminah binti Wahab, adalah saudara sepupu dari Haulah binti Wuhaib. Hamzah Bin Abdul Mutholib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian yang kuat dia termasuk tokoh Quraish yang di segani. Nama sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Ia Ikut Hijrah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus Syuhada”.
 
Ibnu Atsir berkata dalam kitab ‘Usud al Ghabah”, Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya . lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya.
Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya ,” Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (Qs; an Nahl 126) Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq didalam kitab,” Sirah Ibnu Ishaq” dari Abdurahman bin Auf bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya, "Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?", aku menjawab “Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib”. Lalu Umayyah dberkata Dialah yang membuat kekalahan kepada kami”.
Sementara itu Abu jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan kaum muslimin berpendapat perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum muslimin sudah tidak dapat dielakkan lagi. Oleh karena itu ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Rosulullah dan pengikutnya. Bagai manapun Hamzah tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng pelindung bagi kaum muslimin lainnya. Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama islam lebih mendalam.
Sejak memeluk islam, Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa raganya untuk kepentingan da'wah islam. Karena itu tidaklah mengherankan jika Rasulullah menjulukinya dengan sebutan "Asadullah" yang berarti singa Allah.
Pasukan kaum muslimin yang pertama kali di kirim oleh Rasulullah dalam perang Badar, di pimpin langsung oleh Sayyidina Hamzah, Si Singa Allah, dan Ali bin Abu Thalib menunjukkan keberaniannya yang luar biasa dalam mempertahankan kemuliaan agama islam, hingga akhirnya kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang. Banyak korban dari kaum kafir Quraisy dalam perang tersebut, dan tentunya mereka tidak mau menelan begitu saja. Maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas kekalahan yang mereka alami sebelumnya.
Akhirnya tibalah saatnya perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum muslimin. Sasaran utama perang tersebut adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dan mereka memiliki rencana yang keji terhadap Hamzah yaitu dengan menyuruh seorang budak yang mahir dalam menggunakan tombak dan organ hatinya akan di ambil dan akan di makan oleh Hindun yang memiliki dendam sangat membara karena ayahnya dibunuh oleh Hamzah pada Perang Badar
Sedangkan Washyi bin Harb diberikan tugas yang maha berat yaitu membunuh Hamzah dan akan dijanjikan kepadanya imbalan yang besar pula yaitu akan dimerdekakan dari perbudakan. Akhirnya kedua pasukan tersebut bertemu dan terjadilah pertempuran yang dahsyat, sementara Sayyidina Hamzah berada di tengah-tengah medan pertempuran untuk memimpin sebagian kaum muslimin. Ia mulai menyerang ke kiri dan ke kanan.
Seluruh pasukan kaum muslimin maju dan bergerak serentak ke depan, hingga akhirnya dapat diperkirakan kemenangan berada di pihak kaum muslimin. Dan seandainya pasukan pemanah yang berada di atas bukit Uhud tetap patuh pada perintah Rosulullah untuk tetap berada di sana dan tidak meninggalkannya untuk memungut harta rampasan perang yang berada di lembah Uhud, niscaya kaum muslimin akan dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Di saat mereka sedang asyik memungut harta benda musuh islam yang tertinggal, kaum kafir Quraisy melihatnya sebagai peluang dan berbalik menduduki bukit Uhud dan mulai melancarkan serangannya dengan gencar kepada kaum muslimin dari atas bukit tersebut. Tentunya penyerangan yang mendadak ini pasukan muslim terkejut dan kocar-kacir dibuatnya. Melihat itu semangat Hamzah semakin bertambah berlipat ganda. Ia kembali menerjang dan menghalau serangan kaum Quraisy.
Sementara itu Wahsyi terus mengintai gerak gerik Hamzah, setelah menebas leher Siba' bin Abdul Uzza dengan lihai-nya. Maka pada saat itu pula, Wahsyi mengambil ancang-ancang dan melempar tombaknya dari belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Lalu Ia bangkit dan berusaha berjalan ke arah Wahsyi, tetapi tidak berdaya dan akhirnya roboh sebagai syahid.
Usai peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benaknya bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada Sayyidina Hamzah dan mengambil hatinya. Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah, Seraya bersabda,
"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apapun yang lebih menyakitkan diriku dari pada suasana sekaran ini."
Setelah itu Rasulullah dan kaum muslimin menshalatkan jenazah pamannya dan para syuhada lainnya satu persatu. Pertama Sayyidina Hamzah dishalatkan lalu di bawa lagi jasad seorang syahid untuk dishalatkan, sementara jasad Sayyidina Hamzah tetap dibiarkannya disitu. Lalu jenazah itu di angkat, sedangkan jenazah Sayyidina Hamzah tetap di tempat. Kemudian di bawa jenazah yang ketiga dan dibaringkannya di samping jenazah Sayyidina Hamzah. Lalu Rasulullah dan para sahabat lainnya menshalatkan mayat itu. Demikianlah Rasulullah menshalatkan para syuhada Uhud satu persatu, hingga jika di hitung Maka Rasulullah dan para sahabat telah menshalatkan Sayyidina Hamzah sebanyak tujuh puluh kali.
Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang. Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis. Ia wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dengan “Sayidus Syuhada”.
Selanjutnya... Hamzah bin Abdul-Muththalib

Khadijah binti Khuwailid


Khadijah berasal dari golongan pembesar Mekkah. Menikah dengan Nabi Muhammad, ketika berumur 40 tahun, manakala Nabi Muhammad berumur 25 tahun. Ada yang mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi Muhammad. Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami, karena suami pertama dan keduanya telah meninggal. Beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad.
Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah sepupunya, yaituWaraqah bin Naufal. Ia berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihatmatahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat kemana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat". Tak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Nabi Muhammad.
Ketika Nabi Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur sehingga mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang dagangan Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Nabi Muhammad. Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk meminang Beliau, yang pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi seorang wanita untuk meminang pria dan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui paman Muhammad yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifat-sifat istimewa Beliau ini, sehingga ia tidak memedulikan segala kritikan dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.
Khadijah yang juga seorang yang cerdas, mengenai ketertarikannya kepada Nabi Muhammad mengatakan, “Jika segala kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor nyamuk.
”Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kenabiansuaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam. Sepanjang hidupnya bersama Nabi, Khadijah begitu setia menyertainya dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, ia pasti menyiapkan semua perbekalan dan keperluannya. Seandainya Nabi Muhammad agak lama tidak pulang, Khadijah akan melihat untuk memastikan keselamatan suaminya. Sekiranya Nabi Muhammad khusyuk bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Beliaau pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau coba sekuat mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-benar merasai tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Allah mengkaruniakannya 3 orang anak, yaitu QasimAbdullah, dan Fatimah.
Dalam banyak kegiatan peribadatan nabi Muhammad, Khadijah pasti bersama dan membantunya, seperti menyediakan air untuk mengambil wudhu.Nabi Muhammad menyebut keistimewaan terpenting Khadijah dalam salah satu sabdanya, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.” Khadijah telah hidup bersama-sama Nabi Muhammad selama 24 tahun dan wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan.
Selanjutnya... Khadijah binti Khuwailid

Umair bin Wahab, Jagoan Pembela Islam


Ketika Umar menoleh, tampaklah olehnya Umair bin Wahab yang sedang bergerak menuju ke arah masjid. Umar berkata kepada para sahabat, “Itu dia si Umair bin Wahab, musuh Allah! Demi Allah, pasti kedatangannya untuk maksud jahat. Dialah yang menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di Perang Badar!” kata Umar berang. 
 
Pandangan Umar terus tertuju pada setiap langkah unta yang ditunggangi Umair. Umair terus bergerak ke arah masjid, tempat sekelompok Kaum Muslimin berkumpul. Pandangannya di arahkan ke kiri dan ke kanan, mencari tahu di mana tempat Muhammad.

Pedang beracun andalannya dihunuskan, dengan mata dan muka merah seolah-olah sedang mabuk. Ia duduk tegak di atas untanya. Kemudian setelah ia sampai di masjid, turunlah ia dan mengikat untanya.

Saat itu, Rasulullah ada di dalam rumah. Dengan cepat Umar RA berlari menuju ke sana dan masuk ke dalam rumah, sambil berkata dengan suara yang sangat nyaring, “Ya Rasulullah, itulah seteru Allah si Umair bin Wahab telah datang dengan menyelempangkan pedangnya.”

Lalu Umar membawa masuk Umair menghadap Nabi. Bagai harimau yang kehilangan gigi, Umair sama sekali tidak berkutik ketika tali pedang beracunnya dipegang oleh Umar RA . Ada ketakutan yang tidak bisa disembunyikan ketika Umair berhadapan dengan Umar.

Ia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Memang, selamanya pahlawan-pahlawan bangsa Quraisy takut kepada Umar. Sesampai di hadapan Nabi, lalu beliau bersabda, “Lepaskanlah dia, wahai Umar!” Umar segera mematuhi perintah Rasulullah SAW.
“Selamat pagi untukmu, hai Muhammad!” kata Umair. Ucapan penghormatan seperti itu adalah seperti yang lazimnya dilakukan masyarakat jahiliyah.
Lalu Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu, hai Umair. Penghormatan itu ialah Salam.”

Selanjutnya Nabi bertanya kepada Umair, “Hai Umair sesungguhnya kamu ini datang kemari untuk apa?” 

Ia menjawab, “Ya Muhammad, aku datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu.”

Nabi SAW berkata, “Tidak! Sebenarnya saja. Kamu jangan berdusta.” 

“Betul, ya Muhammad,” jawab Umair. “Sesungguhnya aku hendak bertemu dengan anakku, dan aku hendak meminta kepadamu supaya engkau berbuat baik kepadanya.”

Nabi berkata lagi, “Apa gunanya pedang yang kamu bawa itu?”

“Pedang ini tidak ada gunanya sedikit jua pun bagiku. Mudah-mudahan Allah menjelekkan pedang ini,” jawab Umair. 

“Tidak begitu, ya Umair! Adakah kamu membenarkan, jika aku mengatakan (menerangkan) segala apa maksudmu datang kemari.”

“Aku tidak datang kemari melainkan untuk itu, Muhammad.”
 
Nabi dengan tersenyum lalu berkata, “Ah, tidak begitu! Mesti ada maksud lain yang kamu simpan. Cobalah dengarkan, beberapa saat yang lalu, kamu duduk bersama-sama dengan Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kamu dan Shafwan menyebut kaum Quraisy yang tertanam semuanya di sumur Badar. Selanjutnya, kamu berkata begini dan begitu, dan Shafwan juga berkata begini dan begitu. Lantas kamu menyahut begini. Bukankah begitu?”

Keterangan Nabi sedikit pun tidak berselisih dari apa yang diperbincangkan oleh Umair kepada Shafwan pada waktu itu. 

Umair lalu bertanya, “Ya Muhammad, Mengapa engkau tahu begitu jelas? Padahal waktu itu tidak ada seorang pun yang tahu.”

“Tentu saja aku tahu, karena ada yang memberitahukan kepadaku. Dan betulkan semua yang kukatakan itu!” 

Saat itu, benih kebencian yang semula ada berubah menjadi kagum terhadap sosok Muhammad SAW. Dan seketika itu juga Umair mengucapkan dua kalimat syahadat. “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tuan itu Pesuruh Allah. Sungguh aku dulu mendustakan engkau Muhammad, dengan segala apa yang telah engkau datangkan dari langit dan segala apa yang diturunkan atas engkau.” 

“Perkara yang engkau katakan tadi, sungguh ketika aku bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak ada seorang pun yang tahu, melainkan aku sendiri dan Shafwan. Sesungguhnya demi Allah, aku sekarang mengerti dan sangat percaya, bahwa segala apa yang datang kepadamu itu tidak lain dan tidak bukan, melainkan dari Allah sendiri.”


Selanjutnya, Umair meminta izin kepada Nabi hendak pulang bersama anaknya (yang telah dibebaskan oleh Rasulullah). “Ya Rasulullah,” ujarnya. “Dulu aku seorang pembela bagi pemadam cahaya Allah yang sangat menyakitkan kepada orang-orang yang mengikuti agama Allah dan amat menyakitkan kepada tuan yang nyata-nyata pesuruh Allah.” 

“Oleh sebab itu, aku hendak pulang ke Makkah, dan sengaja memohon izin kepada tuan. Di Makkah akan kusampaikan kepada kawan-kawan Quraisy supaya mereka ikut kepada utusan Allah dan Rasul-Nya. Supaya mereka memeluk Islam. Mudah-mudahan saja mereka mendapat petunjuk dari Allah. Dan jika tidak suka mengikuti, aku akan menyakiti mereka sebagaimana aku dulu menyakiti sahabat-sahabat Tuan.”

Darah syuhada telah mengalir ke dalam setiap sel tubuh Umair. Dengan semangat kepahlawanan, ia berusaha ingin menutupi segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya di masa jahiliyah kemarin. 

Umar bin Khathab pun berubah menjadi sangat cinta kepadanya. “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya. Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi daripada si Umair sewaktu mula-mula muncul di hadapan kita. Tapi sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakkku sendiri.”

Sementara itu, berita keislaman Umair sudah mulai ramai dibicarakan. Setiap rombongan yang datang dari Madinah, tidak ada kata yang terlewat, selain membicarakan kepindahan Umair ke agama Muhammad SAW. Bumi terasa berputar bagi Shafwan.

Peristiwa yang diharap-harapkannya akan dapat menggembirakan kaumnya dan melupakan kejadian Perang Badar dengan meninggalnya Muhammad, kenyataan yang datang bagai petir menyambar.


Sesampai di Makkah, Umair dengan sungguh-sungguh berseru kepada kaum musyrikin Quraisy, terutama kepada Shafwan. 

Dan pada suatu hari ia datang kepadanya seraya berkata, “Hai Shafwan, kau itu seorang ketua (penghulu) kaum Quraisy, tapi mengapa kamu menyembah kepada batu-batu dan berhala itu? Demi Allah, sekarang aku telah menyaksikan, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah dan menyaksikan pula bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba dan utusan-Nya. Aku mengajakmu, hendaklah kamu mengikuti Muhammad!”

Shafwan ketika itu tidak menjawab sepatah kata pun (seperti yang sudah diikrarkannya sendiri). Ia sangat marah kepada Umair. Ia bahkan bermaksud akan menyerangnya karena merasa dikhianati. Tapi niat itu segera urung melihat Umair masih mengusung pedangnya.
Shafwan menghindar dan mengambil sikap berseberangan dengan Umair. Sebagai sahabat karib, Umair merasa sangat kasihan dengan kenyataan itu. Setelah beberapa lama Shafwan tidak lagi terlihat batang hidungnya.

Sementara jumlah orang-orang Quraisy yang masuk Islam dan mengikuti jejak Umair semakin banyak. Mereka dibawa secara berombongan menuju Madinah untuk menghadap Rasulullah SAW dan belajar Alquran langsung kepada beliau.

Ketika Fathu Makkah, Umair mencium berita rencana Shafwan berangkat ke Jeddah untuk berlayar ke Yaman. Ia akan melakukan bunuh diri dengan terjun ke laut karena diburu rasa takut kepada Muhammad SAW. Umair kemudian menghadap Rasulullah dan mengadukan akan hal ini.

Umair berkata, “Ya Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya, ia hendak pergi melarikan diri dengan terjun ke laut karena takut kepada Anda. Maka mohon Anda beri ia keamanan dan perlindungan, semoga Allah melimpahkan karunia-Nya kepada anda.”

Jawab Nabi, “Dia Aman!”

Umair pun segera pergi mengejar Shafwan yang hendak berangkat berlayar. Sembari membawa sorban yang dikenakan Rasulullah ketika memasuki Kota Makkah, ia menunjukkannya kepada Shafwan sebagai jaminan. Umair mengatakan bahwa Rasulullah bersedia menjamin keamanan dan perlindungan kepadanya. Karena belum, yakin Shafwan akhirnya diajak menghadap Rasulullah SAW.

Sejak saat itu, Shafwan mengucapkan dua kalimat syahadat, mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh Umair bin Wahab Al-Jumahi. Umair pun melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh berkah. Ia berjuang menegakkan agama Allah untuk melepaskan umat manusia dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang, Islam.


Selanjutnya... Umair bin Wahab, Jagoan Pembela Islam

Uqbah bin Amir

Para penduduk berdesakan di jalan-jalan dan lorong-lorong rumah, menyambut kedatangan beliau sambil mengucapkan tahlil dan takbir, menunjukkan kegembiraan mereka bertemu dengan Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA.

Gadis-gadis remaja keluar rumah membawa rebana. Dengan pandangan mata penuh dengan kerinduan mereka menyanyikan senandung, "Telah muncul purnama raya di tengah-tengah kita dari celah-celah gunung. Kami wajib bersyukur atas dakwah kepada Allah."

Begitulah arak-arakan mengiringi Rasulullah yang berjalan perlahan-lahan di antara barisan orang banyak, dikelilingi hati yang penuh dengan kerinduan serta curahan air mata bahagia.

Tetapi sayang, Uqbah bin Amir Al-Juhani tidak menyaksikan pawai bahagia menyambut kedatangan Rasulullah tersebut. Dia tidak beruntung datang bersama orang banyak karena ketika itu dia pergi ke gurun pasir menggembalakan domba-dombanya.

Dia takut domba-domba itu akan mati kehausan dan kelaparan, karena hanya domba-domba itulah yang dimilikinya, sebagai harta kekayaan dunia baginya.
 
Suasana gembira ria itu cepat menyusup ke segenap pelosok Madinah Al-Munawwarah, memenuhi lembah dan bukit, jauh maupun dekat. Dan berita suka cita itu sampai pula kepada Uqbah bin Amir Al-Juhani yang sedang menggembalakan domba-dombanya jauh di gurun pasir.

Mendengar kedatangan Rasulullah itu, Uqbah bin Amir meninggalkan domba-dombanya, dan segera berangkat menemui Rasullah tanpa menunggu-nunggu. Ketika berada di hadapan beliau, Uqbah berkata, “Berkenankah Tuan membaiat saya, ya Rasulullah?”

“Siapakah engkau?” tanya beliau.

“Saya Uqbah bin Amir Al-Juhani.”

“Baiat bagaimana yang kau kehendaki. Baiat Arabi atau baiat hijrah?” tanya Rasulullah.

“Seperti yang Tuan lakukan terhadap penduduk Madinah,” jawab Uqbah.

Lalu Rasulullah membaiatnya seperti baiat kaum Muhajirin. Ia bermalam di tempat Rasulullah dan baru keesokan harinya kembali menggembalakan domba.

Uqbah bin Amir dan kawan-kawannya sesama penggembala berjumlah dua belas orang yang telah masuk Islam. Mereka bermukim jauh dari keramaian Kota Madinah, menggembalakan domba di gurun-gurun dan lembah.

“Tidak baik bila kita tidak mendatangi Rasulullah setiap hari, untuk belajar agama dan mendengarkan wahyu Allah darinya. Setiap hari seorang di antara kita harus pergi ke kota menemui beliau, Sedangkan yang tinggal harus bertanggungjawab menggembalakan domba,” usul salah seorang kawan Uqbah.

Mereka setuju. Secara bergantian mereka menemui Rasulullah dan mengajarkan apa yang didapat kepada teman-teman mereka yang bertugas menggembalakan domba, kecuali Uqbah. Ia bersedia untuk tidak menemui Rasulullah karena harus menjaga gembalaannya.

Satu demi satu secara bergantian mereka mendatangi Rasulullah SAW. Domba yang ditinggalkannya, dipercayakannya kepada Uqbah untuk digembalakan. Lama kelamaan Uqbah merasa rugi, “Persetan, aku tidak peduli domba-domba ini makan atau tidak."

“Dengan menggembala aku terasa sangat merugi, karena tidak dapat berdampingan dengan Rasulullah, menyimak pengajaran langsung dari mulut beliau tanpa perantara,” ujamya dalam hati. Lalu ditinggalkannya domba-domba tersebut, dan berangkat ke Madinah, untuk tinggal dan menetap di masjid, di samping Rasulullah SAW.

Ketika mengambil keputusan yang menentukan itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran Uqbah, bahwa pada suatu waktu dia akan menjadi seorang alim besar di antara para sahabat yang ulama-ulama besar. Dia akan menjadi salah seorang qari (ahli baca Alquran) di antara para qari terkemuka.

Dia akan menjadi seorang panglima perang di antara para panglima dan penakluk yang terpandang. Dia akan menjadi seorang pemimpin di antara para pemimpin yang pantas diperhitungkan.

Semua itu tidak pernah terbayangkan olehnya walau secuil pun. Dia hanya membayangkan domba-domba gembalaannya. Apakah domba-domba itu cukup terpelihara atau tidak? Dia berangkat ke pusat dakwah agama Allah, untuk berdampingan dengan Rasulullah, guna mempelajari agama dari rasul mulia.

 
Dia tidak pernah menyadari akan menjadi tentara pelopor yang bakal membebaskan ibu kota dunia waktu itu, yaitu Damaskus. Dan bakal mendiami istana di sebuah taman nan indah menghijau dekat Bab Tuma.

Dia juga tidak pemah membayangkan sedikit pun akan menjadi seorang panglima, penakluk permata dunia yang indah subur, yaitu Mesir; akan menjadi penguasa negeri itu, dan akan membangun sebuah istana untuknya di kaki sebuah bukit yang strategis. Semua itu hanya tersimpan di alam gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT.


Uqah bin Amir Al-Juhani berdampingan dengan Rasulullah SAW bagaikan bayang-bayang dengan orangnya. Dia pemegang tali kendali baghal Rasulullah dan menuntunnya ke mana beliau pergi. Dia berjalan di hadapan beliau setiap bepergian.

Terkadang Rasulullah memboncengnya di belakang, sehingga Uqbah digelari para sahabat "Radif Rasulullah” (Pembonceng Rasulullah). 

Bahkan, pada suatu ketika saat berada di salah satu hutan semak Madinah, Rasulullah pernah turun dari baghal dan mempersilakan Uqbah menunggangi binatang tersebut, sedangkan beliau berjalan di sampingnya.

Sebenarnya Uqbah mau menampik perintah Rasulullah itu, tapi ia takut mendurhakai utusan Allah tersebut. Rasulullah bersabda, “Wahai Uqbah, maukah engkau kuajarkan dua surah yang nilainya tak ada banding di sisi Allah?”

Uqbah bin Amir Al-Juhani mengiyakan. Kemudian Rasulullah membaca Surah An-Nas dan Al-Falaq. “Bacalah dua surah tersebut setiap engkau hendak tidur, dan ketika bangun tidur,” ujar Rasulullah.

Sejak saat itu, Uqbah senantiasa membaca kedua surah itu sepanjang hidupnya sesusai dengan petunjuk Rasulullah.

Uqbah bin Amir Al-Juhani memusatkan perhatiannya kepada dua bidang yang sangat penting; ilmu dan jihad. Diterjuninya kedua bidang tersebut dengan seluruh jiwa raganya. Bahkan, dia tidak segan-segan mengorbankan segala-galanya dan tanpa mengenal lelah untuk memperoleh keduanya.

Dalam bidang ilmu, Uqbah bin Amir langsung mereguk dari sumber yang murni dan suci, yaitu Rasulullah. Sehingga dia berhasil menjadi ahli baca Alquran dengan benar dan fasih serta hafal dan faham maknanya. Ia menjadi ahli hadits, fikih, faraidh (ilmu kewarisan). Selain itu, ia juga seorang pujangga dan penyair yang memiliki suara terindah di antara para sahabat Rasulullah.

Bila hari sudah larut malam, suasana sudah tenang, sunyi dan sepi, ia mengambil Kitabullah dan membacanya dengan makna yang jelas dan gamblang. Hati para sahabat Rasulullah yang mendengar lantunan ayat-ayat suci itu tergugah, tunduk mendengar bacaaannya yang merdu dan menggetarkan itu. Air maata mereka bercucuran karena takut kepada Allah.

Umar bin Khathab RA pernah memanggil Uqbah seraya berkata, “Wahai Uqbah, tolong bacakan ayat-ayat Alquran!”

“Baik, ya Amirul Mukminin!” jawab Uqbah, lalu membaca beberapa ayat Alquran. Umar menangis tersedu-sedu mendengar bacaan tersebut sehingga jenggotnya basah bercucuran air mata.
 
Selanjutnya... Uqbah bin Amir