Kamis, 29 November 2012

Uqbah bin Amir

Para penduduk berdesakan di jalan-jalan dan lorong-lorong rumah, menyambut kedatangan beliau sambil mengucapkan tahlil dan takbir, menunjukkan kegembiraan mereka bertemu dengan Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA.

Gadis-gadis remaja keluar rumah membawa rebana. Dengan pandangan mata penuh dengan kerinduan mereka menyanyikan senandung, "Telah muncul purnama raya di tengah-tengah kita dari celah-celah gunung. Kami wajib bersyukur atas dakwah kepada Allah."

Begitulah arak-arakan mengiringi Rasulullah yang berjalan perlahan-lahan di antara barisan orang banyak, dikelilingi hati yang penuh dengan kerinduan serta curahan air mata bahagia.

Tetapi sayang, Uqbah bin Amir Al-Juhani tidak menyaksikan pawai bahagia menyambut kedatangan Rasulullah tersebut. Dia tidak beruntung datang bersama orang banyak karena ketika itu dia pergi ke gurun pasir menggembalakan domba-dombanya.

Dia takut domba-domba itu akan mati kehausan dan kelaparan, karena hanya domba-domba itulah yang dimilikinya, sebagai harta kekayaan dunia baginya.
 
Suasana gembira ria itu cepat menyusup ke segenap pelosok Madinah Al-Munawwarah, memenuhi lembah dan bukit, jauh maupun dekat. Dan berita suka cita itu sampai pula kepada Uqbah bin Amir Al-Juhani yang sedang menggembalakan domba-dombanya jauh di gurun pasir.

Mendengar kedatangan Rasulullah itu, Uqbah bin Amir meninggalkan domba-dombanya, dan segera berangkat menemui Rasullah tanpa menunggu-nunggu. Ketika berada di hadapan beliau, Uqbah berkata, “Berkenankah Tuan membaiat saya, ya Rasulullah?”

“Siapakah engkau?” tanya beliau.

“Saya Uqbah bin Amir Al-Juhani.”

“Baiat bagaimana yang kau kehendaki. Baiat Arabi atau baiat hijrah?” tanya Rasulullah.

“Seperti yang Tuan lakukan terhadap penduduk Madinah,” jawab Uqbah.

Lalu Rasulullah membaiatnya seperti baiat kaum Muhajirin. Ia bermalam di tempat Rasulullah dan baru keesokan harinya kembali menggembalakan domba.

Uqbah bin Amir dan kawan-kawannya sesama penggembala berjumlah dua belas orang yang telah masuk Islam. Mereka bermukim jauh dari keramaian Kota Madinah, menggembalakan domba di gurun-gurun dan lembah.

“Tidak baik bila kita tidak mendatangi Rasulullah setiap hari, untuk belajar agama dan mendengarkan wahyu Allah darinya. Setiap hari seorang di antara kita harus pergi ke kota menemui beliau, Sedangkan yang tinggal harus bertanggungjawab menggembalakan domba,” usul salah seorang kawan Uqbah.

Mereka setuju. Secara bergantian mereka menemui Rasulullah dan mengajarkan apa yang didapat kepada teman-teman mereka yang bertugas menggembalakan domba, kecuali Uqbah. Ia bersedia untuk tidak menemui Rasulullah karena harus menjaga gembalaannya.

Satu demi satu secara bergantian mereka mendatangi Rasulullah SAW. Domba yang ditinggalkannya, dipercayakannya kepada Uqbah untuk digembalakan. Lama kelamaan Uqbah merasa rugi, “Persetan, aku tidak peduli domba-domba ini makan atau tidak."

“Dengan menggembala aku terasa sangat merugi, karena tidak dapat berdampingan dengan Rasulullah, menyimak pengajaran langsung dari mulut beliau tanpa perantara,” ujamya dalam hati. Lalu ditinggalkannya domba-domba tersebut, dan berangkat ke Madinah, untuk tinggal dan menetap di masjid, di samping Rasulullah SAW.

Ketika mengambil keputusan yang menentukan itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran Uqbah, bahwa pada suatu waktu dia akan menjadi seorang alim besar di antara para sahabat yang ulama-ulama besar. Dia akan menjadi salah seorang qari (ahli baca Alquran) di antara para qari terkemuka.

Dia akan menjadi seorang panglima perang di antara para panglima dan penakluk yang terpandang. Dia akan menjadi seorang pemimpin di antara para pemimpin yang pantas diperhitungkan.

Semua itu tidak pernah terbayangkan olehnya walau secuil pun. Dia hanya membayangkan domba-domba gembalaannya. Apakah domba-domba itu cukup terpelihara atau tidak? Dia berangkat ke pusat dakwah agama Allah, untuk berdampingan dengan Rasulullah, guna mempelajari agama dari rasul mulia.

 
Dia tidak pernah menyadari akan menjadi tentara pelopor yang bakal membebaskan ibu kota dunia waktu itu, yaitu Damaskus. Dan bakal mendiami istana di sebuah taman nan indah menghijau dekat Bab Tuma.

Dia juga tidak pemah membayangkan sedikit pun akan menjadi seorang panglima, penakluk permata dunia yang indah subur, yaitu Mesir; akan menjadi penguasa negeri itu, dan akan membangun sebuah istana untuknya di kaki sebuah bukit yang strategis. Semua itu hanya tersimpan di alam gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT.


Uqah bin Amir Al-Juhani berdampingan dengan Rasulullah SAW bagaikan bayang-bayang dengan orangnya. Dia pemegang tali kendali baghal Rasulullah dan menuntunnya ke mana beliau pergi. Dia berjalan di hadapan beliau setiap bepergian.

Terkadang Rasulullah memboncengnya di belakang, sehingga Uqbah digelari para sahabat "Radif Rasulullah” (Pembonceng Rasulullah). 

Bahkan, pada suatu ketika saat berada di salah satu hutan semak Madinah, Rasulullah pernah turun dari baghal dan mempersilakan Uqbah menunggangi binatang tersebut, sedangkan beliau berjalan di sampingnya.

Sebenarnya Uqbah mau menampik perintah Rasulullah itu, tapi ia takut mendurhakai utusan Allah tersebut. Rasulullah bersabda, “Wahai Uqbah, maukah engkau kuajarkan dua surah yang nilainya tak ada banding di sisi Allah?”

Uqbah bin Amir Al-Juhani mengiyakan. Kemudian Rasulullah membaca Surah An-Nas dan Al-Falaq. “Bacalah dua surah tersebut setiap engkau hendak tidur, dan ketika bangun tidur,” ujar Rasulullah.

Sejak saat itu, Uqbah senantiasa membaca kedua surah itu sepanjang hidupnya sesusai dengan petunjuk Rasulullah.

Uqbah bin Amir Al-Juhani memusatkan perhatiannya kepada dua bidang yang sangat penting; ilmu dan jihad. Diterjuninya kedua bidang tersebut dengan seluruh jiwa raganya. Bahkan, dia tidak segan-segan mengorbankan segala-galanya dan tanpa mengenal lelah untuk memperoleh keduanya.

Dalam bidang ilmu, Uqbah bin Amir langsung mereguk dari sumber yang murni dan suci, yaitu Rasulullah. Sehingga dia berhasil menjadi ahli baca Alquran dengan benar dan fasih serta hafal dan faham maknanya. Ia menjadi ahli hadits, fikih, faraidh (ilmu kewarisan). Selain itu, ia juga seorang pujangga dan penyair yang memiliki suara terindah di antara para sahabat Rasulullah.

Bila hari sudah larut malam, suasana sudah tenang, sunyi dan sepi, ia mengambil Kitabullah dan membacanya dengan makna yang jelas dan gamblang. Hati para sahabat Rasulullah yang mendengar lantunan ayat-ayat suci itu tergugah, tunduk mendengar bacaaannya yang merdu dan menggetarkan itu. Air maata mereka bercucuran karena takut kepada Allah.

Umar bin Khathab RA pernah memanggil Uqbah seraya berkata, “Wahai Uqbah, tolong bacakan ayat-ayat Alquran!”

“Baik, ya Amirul Mukminin!” jawab Uqbah, lalu membaca beberapa ayat Alquran. Umar menangis tersedu-sedu mendengar bacaan tersebut sehingga jenggotnya basah bercucuran air mata.
 

Tidak ada komentar: